Lanskap perdebatan klasik mengenai prioritas posisi keluasan realitas dalam pengetahuan dan cara kerja pemahaman yang terkungkung dalam ilmu sosial senyatanya masih terus relevan hingga saat ini. Relevansi tersebut setidaknya dapat ditilik dari dua persoalan. Pertama, gerak realitas hari ini yang berangsur-angsur berubah dengan cepat tanpa batasan dan tak terkendali. Kedua, cara kerja ilmu sosial yang tak jarang masih terbatas pada disiplin keilmuan yang tak selalu memuaskan dalam usaha memahami realitas. Akan tetapi, perdebatan tersebut tentu membutuhkan konfigurasi ulang dengan menggunakan konteks yang relevan agar mampu menghasilkan dialog dan analisis yang tajam dan memadai.
Pemahaman terhadap realitas selalu berdiri di atas dua kanon epistemis. Pertama, mahzab empirisime klasik yang menekankan posisi keluasan realitas aktual pada dirinya (objektivitas) yang berubah dalam varian kanonnya yaitu realisme di satu sisi. Kedua, mahzab idealisme transendental yang memberikan prioritas lebih pada proses penafsiran (subjektivitas) ketimbang realitas ada pada dirinya yang berubah dalam varian populernya yaitu rasionalisme di sisi seberang. Akan tetapi, kedua kanon batasan epistemis tersebut masih bertumpu pada asumsi sebuah universalitas dari realitas dunia yang tunggal.
Bagaimana posisi dan relevansi perdebatan tersebut ketika realitas aktual saat ini terbagi dalam dikotomi yang-nyata (offline) dan yang-maya (online)? Penentuan relevansi dari kedua kanon epistemis tersebut setidaknya dapat dijawab dengan menilik kembali sifat realitas aktual saat ini yang terpapar kemajuan teknologi yang merupakan varian termutakhir dari ilmu eksakta. Realitas hari ini menjadi begitu cair, tak terbatas, bergerak begitu cepat, dan tentu saja tak terkendali. Konsekuensi dari sifat-sifat tersebut adalah lahirnya paradoks: realitas dimaknai semakin privat dengan kecenderungan yang universal. Alhasil, batasan dari dikotomi epistemis tersebut tampak tidak dapat dipertahankan secara tegas, atau dengan kata lain, melebur dan bersifat abu-abu.
Imbas dari sifat paradoksal yang lahir pasca dikotomi yang-nyata dan yang-maya bagi ilmu sosial adalah tuntutan untuk memperbarui cara kerjanya. Tuntutan pembaruan tersebut dikarenakan dua hal. Pertama, adanya kondisi-kondisi objektif universal dari realitas yang dihasilkan di luar prediksi batas kemampuan ilmu sosial. Kedua, pemahaman pada realitas yang semakin subjektif di ruang-ruang paling privat yang tentu menjadi momok bagi analisis ilmu sosial jika terus menerus bergantung pada batasan epistemis struktural-fungsional.
Salah satu upaya untuk memahami dikotomi realitas aktual, sekaligus juga upaya untuk menjawab tuntutan pembaruan cara kerja, adalah dengan menghadirkan analisis kultur digital bagi ilmu sosial. Analisis kultur digital dengannya mampu melakukan dua kontribusi penting bagi perkembangan cara kerja ilmu sosial. Pertama, meluaskan lanskap epistemis bagi cara kerja ilmu sosial. Kedua, menggedor disiplin ilmu sosial yang berkutat untuk tidak terbatas pada satu disiplin keilmuan yang terlampau kaku sehingga mampu menghasilkan analisis yang lebih relevan.
Salah satu tulisan yang mampu menghadirkan analisis kultur digital adalah Appnography: Modifying Ethnography for App-Based Culture. Analisis kultur digital yang dipaparkan mampu menjawab tuntutan pembaruan ilmu sosial yang berdiri di atas dua kebutuhan: realitas aktual dan cara kerja. Pertama, realitas aktual yang diwacanakan dalam tulisan tersebut menyoal isu LGBTQ yang bergerak jauh lebih bebas dalam dunia maya (online) ketimbang dunia nyata (offline). Kedua, cara kerja ilmu pengetahuan dibasiskan pada upaya-upaya memahami isu tersebut dengan menggunakan metode baru yang mampu meluaskan lanskap epistemis ilmu sosial pada gerak teknologi: appnography.
Isu LGBTQ yang dipaparkan memilih fokus pada dua media sosial yang populer sebagai ruang pertemuan dunia maya yang bernama Grindr dan Tinder. Grindr merupakan sebuah platform media sosial yang diciptakan pada tahun 2009 secara khusus bagi para homoseksual, biseksual, dan transgender laki-laki. Grindr memiliki lebih dari tiga juta pengguna aktif yang tersebar di 234 wilayah dan negara. Sedangkan Tinder diluncurkan pada tahun 2012 sebagai platform kencan yang juga memberikan fasilitas bagi LGBTQ untuk saling berkomunikasi dan membuka ruang dialog. Tinder hanya butuh waktu dua tahun untuk meraih 1 miliar match—kecocokan dan keterhubungan-antar pengguna aktif.
Basis dari kedua platform media sosial tersebut adalah dengan menggunakan Geo-Social Networking Apps (GSNAs). GSNAs memungkinkan untuk menjangkau orang-orang di sekitar dalam radius jarak tertentu dengan memiliki kecenderungan yang ditentukan oleh beberapa prasyarat secara khusus. Berawal dari pertemuan dan kecocokan dalam platform media sosial yang difasilitasi dengn GSNAs tersebut yang pada akhirnya memicu pertemuan di dunia nyata yang tak jarang berorientasi pada hubungan seksual.
Imbas teoritik kehadiran platform media sosial tersebut adalah perluasan perspektif feminisme dan LGBTQ, terutama sekali queer theoritical. Domain realitas aktual yang tak lagi diasumsikan secara tunggal pada dunia nyata (offline) berimbas pada analisis teoritis yang mengubah haluan pada dunia maya (online) yang memantik kehadiran teori feminisme gelombang ke empat (Fourthwave Feminism). Bahwasannya tidak dapat dipungkiri lagi telah terjadi perbedaan pemahaman realitas aktual antara yang-nyata dengan yang-maya. Dunia yang-nyata diposisikan sebagai distopia, sebuah ruang yang dibayangkan penuh dengan mimpi buruk dan ketidakmungkinan. Sebaliknya, platform media sosial dipahami sebagai sebuah Utopia yang mengimpikan sebuah surga penuh kebebasan di bumi.
Oleh karena itu, teori feminis dan queer mau tidak mau harus beradaptasi dengan realitas aktual dunia maya untuk mampu menghasilkan analisis yang memadai dan relevan. Adaptasi yang dilakukan berpijak pada keragaman dan kejamakkan dari identitas setiap orang. Suatu hal yang hampir tidak mungkin dilakukan di dunia nyata karena hegemoni dari rezim moral, norma, dan hukum yang mengekang ekspresi subjektif. Keragaman dan kejamakkan identitas tersebutlah yang membesut kemunculan teori feminis gelombang keempat yang ditandai dengan kehadiran beberapa istilah baru seperti cyberfeminism dan cyberqueer di antaranya.
Imbas pada cara kerja ilmu pengetahuan adalah dibutuhkannya cara kerja metodik yang dituntut untuk memperbarui diri dengan kebangkitan kultur digital. Cara kerja yang cukup relevan dengan kebutuhan kultur digital tersebut adalah etnografi digital. Sebuah cara kerja yang berpijak dari keterpisahan antara identitas dunia nyata dan maya melalui representasi personal. Etnografi digital berupaya memahami seluk beluk kultur di dunia maya para pengguna aktifnya (users intersec dan interface). Juga berusaha mengungkap cara dan alasan mendasar setiap pengguna aktifnya secara lebih refleksif dan jernih. Serta mengakui keragaman ruang-ruang dalam platform media sosial (non-centrality). Cara kerja tersebut dipaparkan dalam tiga kebutuhan utama: konteks sosiohistoris, wacana yang berkembang (discourse), dan bingkai cara pandang (framing).
Cara kerja metodik dari digital etnografi berfokus pada lima elemen yang berdasarkan dari kriteria yang dimunculkan oleh GSNAs. Pertama, dikotomi antara representasi identitas yangnyata dengan yang maya merupakan sebuah hibridasi antara tubuh dan ruang kontekstual dari platform media sosial. Kedua, profil yang menjadi pintu masuk setiap analisis kultur digital karena merupakan bentuk pertama dari representasi identitas setiap pengguna aktif. Ketiga, ruang (space) dan tempat (place) yang diposisikan secara kontekstual untuk memahami relasi sosial dari setiap pengguna aktifnya. Keempat, kontekstualisasi yang mengarah pada kemampuan dan batasan-batasan fitur dalam sebuah platform media sosial yang tentu menjadi distingsi bagi setiap annalisa kultur digital. Kelima, temporalitas yang berasal dari gerak perkembangan fitur dari setiap platform media sosial yang begitu cepat menuntut setiap analisis untuk memperhatikan waktu, konteks, dan keterlekatan antar penggunanya.
Isu-isu yang berkaitan dengan posisi perempuan dan kebebasan berekspresi LGBTQ yang berorientasi publik tampak sedang booming di Indonesia dalam dua tahun terakhir. Dua isu mutakhir yang cukup populer tentu saja kekerasan perempuan dan transfobia beserta homofobia. Mencuatnya isu kekerasan perempuan dapat dilihat dari kehadiran Women March’s di beberapa kota di Indonesia. Juga kasus Agni di UGM yang mampu menggedor kasus-kasus kekerasan pada perempuan di beberapa universitas lainnya di Indonesia. Sedangkan tranfosbia dan homofobia santer menjadi dikenal pasca pengumuman Perda (Peraturan Daerah) Pariaman pada tahun 2018 yang lalu.
Akan tetapi, tidak dengan isu mengenai posisi perempuan dan kebebasan berekspresi LGBTQ dalam konteks privat yang terjadi di beberapa platform media sosial seperti Tinder, yang merupakan platform paling populer di Indonesia. Meski sama-sama bergerak di platform media sosial yang bersifat universal, isu-isu yang bersifat privat tentu dipinggirkan karena cara pandang dikotomis yang kental di Indonesia. Sebuah cara pandang yang dengan tegas memisahkan isu publik dan privat. Ketika sebuah isu berorientasi publik menjadi seolah seluruh struktur masyarakat dapat digedor dan dikritik. Akan tetapi, ketika sebuah isu bersifat privat, seolah kritik apapun mentah dan tak mampu memasuki ranah-ranah personal karena alasan kebebasan individu.
Cara pandang dikotomis antara yang-publik dan yang-privat tersebutlah yang secara keras digedor oleh teknologi yang diwujudkan dalam platform media sosial. Isu yang berorientasi publik tidak jarang justru berpijak dari pengalaman, refleksi, dan peristiwa personal yang mendapatkan sorotan publik dalam taraf nasional ataupun global karena peran platform media sosial kontemporer. Sebaliknya isu yang beorientasi privat hadir dalam ruang personal merupakan imbas dari peristiwa publik yang bersifat universal dan dipicu melalui peran platform media media sosial. Oleh karena itu, isu-isu mengenai posisi perempuan dan kebebasan berekpresi LGBTQ di media sosial tidak lagi dapat dipandang sebagai isu privat semata. Melainkan dapat dipahamai sebagai isu publik karena memiliki sifat universalnya dan potensi untuk memberikan pengaruh langsung ke berbagai pihak yang bergerak aktif dalam sebuah platform media sosial yang sama.
Dua contoh kasus dari isu-isu privat di Indonesia yang memiliki sifat universal dan potensi pengaruh yang signifikan adalah penggunaan aplikasi kencan semacam Tinder dan Wapa. Tinder mampu memicu pergeseran bentuk relasi sosial yang selama ini diasumsikan berpijak dari lingkungan dunia yang-nyata menuju upaya-upaya pencarian pada dunia yang-maya. Sebuah survey yang berujudul Swipe Your Destiny: Survey Report on Indonesian Tinder Users membeberkan prosentase sebesar 74,14 persen pengguna aktif yang menggunakan Tinder dengan alasan untuk mencari teman. Sedangkan 50,29 persen di antara 512 responden melanjutkan relasi tersebut menuju ruang privat yang difasilitasi media sosial lainnya yang bersifat lebih personal seperti WhatsApp.
Sedangkan Wapa merupakan platform media sosial yang populer untuk mencari pertemenan dengan orientasi yang sama. Meski tidak sepopuler Tinder, tetapi karena sifatnya yang khusus memfasilitasi lesbian, Wapa menjadi ruang alternatif untuk menunjukan kebebasan ekspresi dari identitas para pengguna aktifnya. Alasan utama menggunakan Wapa tentu dikarenakan faktor keamanan dan kenyamanan dalam membuka diri kepada orang-orang yang berorientasi sama namun tidak saling mengenal.
Relasi sosial yang terbentuk pada platform Tinder dan Wapa dalam publik kontekstual di Indonesia memperlihatkan kecenderungan baru bagi bentuk realitas aktual. Bahwasannya realitas aktual menunjukan kecenderungan yang terdikotomi antara yang-nyata dengan yangmaya. Representasi identitas dalam bentuk kebebasan dan kenyamanan dalam upaya mengekspresikan gagasan seputar orientasi seksual menjadi faktor dominan. Meski dapat dimaklumi, penggunaan platform tersebut masih terbatas pada kota-kota dengan tingkat masyarakat urban yang tinggi. Namun, tidak menutup kemungkinan gerak persebarannya mampu menjangkau ke berbagai lapisan kelas masyarakat di kota dan teritori lainnya mengingat perkembangan teknologi yang tinggi dan makin mudahnya akses media sosial.
Kecenderungan baru relasi tersebut mampu meluaskan lanskap epistemis bagi analisis kultur digital ilmu sosial hari ini. Analisis dengan menggunakan metode appnograhy yang berpijak pada GSNAs tentu sangatlah memungkinkan untuk diterapkan ketika menengok prosedur cara kerjanya yang terbilang adaptif. Oleh karena realitas yang sudah bergerak dengan cepat, posisi krusial justru diemban oleh ‘infrastruktur’ ilmu sosial Indonesia sendiri.
Asumsi bahwa realitas aktual hanyalah tunggal, universal, dan berada di dalam dunia nyata yang dapat dicerna melalui inderawi sudahlah terpatahkan. Perdebatan dan gerak ilmu sosial di taraf global juga telah menyediakan cara kerja guna memahami kejamakan dan keragaman bentuk dan identitas dalam dunia maya melalui metode appnography. Lalu yang menjadi pertanyaannya adalah seberapa mungkin ilmu sosial di Indonesia mampu beradaptasi? Menjawab pertanyaan tersebut dapat dilihat melalui dua kecenderungan: kondisi dan pemahaman realitas bagi ilmu sosial.
Kondisi ilmu sosial Indonesia saat ini sedang berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, sejarah panjang menunjukan keterlekatan ilmu sosial Indonesia pada corak modernisme Amerika dan kanon-kanon teori kritis Eropa. Juga masih bercokolnya kerangka kerja ilmu sosial yang masih terpaku pada corak general melalui metode kuantitatif. Di sisi lain, upaya-upaya dekolonisasi juga sedang mulai digarap untuk menghasilkan corak identitas ulayat ilmu sosial Indonesia pada dialog ‘Global South’. Tepat pada posisi sulit tersebut gelombang teknologi digital yang mampu membelah kondisi realitas aktual kembali menuntut, sekaligus menekan, ilmu sosial Indonesia untuk menentukan identitasnya. Antara terombang-ambing dalam arus global yang tak menentu atau menetapkan posisi untuk berdiri di atas corak kontekstual dan paradigma ulayatnya.
Opsi untuk menyatukan kedua posisi tersebut jelas problematik. Dikarenakan terdapat perbedaan lanskap yang berbeda dari arus pusat perkembangan ilmu sosial global yang berpusat di ‘Global North’. Analisis kultur digital tentu dapat dikatakan sebagai format baru dari kanon ilmu-ilmu sosial yang bertujuan untuk melakukan kolonisasi keilmuan kontemporer. Adaptasi dan peleburan terhadap analisis kultur digital tentu bertolak belakang dengan upaya dekolonisasi yang mengasumsikan keterlepasan ilmu sosial dari bentuk-bentuk ketergantungan global.
Akan tetapi, di sisi lainnya, pemahaman realitas yang ditangkap dalam analisis ilmu sosial memperlihatkan kecenderungan distopia. Struktur masyarakat Indonesia hari ini cenderung dipahami sebagai kondisi yang muram karena penuh dengan kekangan moral religius, aturan legal-formal hukum yang tidak memihak pada kelas yang terpinggir, hingga bentuk-bentuk banalitas yang dipertahankan melalui stigma buruk di luar kecenderungan identitas umum.
Sebagaimana pula yang ditunjukan oleh isu-isu kekerasan perempuan dan stigma negatif transfobia dan homofobia yang ditujukan bagi kaum LGBTQ. Karenanya, tidak mengejutkan ketika dunia maya melaui kebebasan berekspresi dalam platform media sosial menjadi pilihan yang memikat. Sebuah pilihan yang secara terang membuat posisi ilmu sosial terkatung-katung dan tidak berkutik di antara dilema keilmuan dan distopia dunia.