Tulisan saya ini bukan yang pertama seputar keluhan-keluhan selama masa isolasi akibat menyebarnya virus corona di Indonesia. Saya sekadar ingin berbagi dari kacamata pribadi, seorang ibu dari bocah usia delapan bulan, pekerja domestik lantaran tak ada asisten rumah tangga, pengajar nontetap, sekaligus jurnalis di salah satu media daring.
Pertama, saya akan bercerita tentang susahnya menjalani hari-hari selama sebulan lebih ini di rumah. Stres saya melonjak, apalagi pada minggu-minggu awal penyesuaian kerja di rumah. Ketika saya harus menatap laptop, mewawancara beberapa narasumber, atau berdiskusi soal materi ajar dengan teman dosen lain via WhatsApp, pandangan saya (dan bergantian dengan pasangan) tetap tak boleh lepas dari si bocah.
Anak kami memang sedang aktif merangkak ke sana kemari, mencari benda-benda baru dan menggigitinya, plus lebih sering rewel kalau tidak ditemani main atau digendong. Belum lagi menjalani rutinitas menyiapkan makan dan menyuapi si bocah, menggantikan popok, menyiapkan susu, dan menepuk-nepuk punggungnya sebelum tidur siang.
Rumah juga tak lagi menjadi tempat istirahat saja sekarang. Ini juga yang menyumbang kejenuhan level dewa buat saya. Bangun di kasur, kerja di samping kasur, leyeh-leyeh bersandar di kasur, dan tidur juga di tempat yang sama. Nasib tinggal di kontrakan satu kamar memang begini adanya. Makanya, saya hanya bisa meneteskan air liur kalau lihat seleb atau orang-orang kelas A yang bisa posting Instagram story aktivitas di rumahnya yang lega, banyak ruangan dan fasilitas, dan tak semonoton tempat saya.
Di tengah kejenuhan ini, saya tidak punya opsi lain untuk bekerja selain mantengin laptop, terkoneksi dengan internet, dan mulai menulis, meeting, dan wawancara jika tidak lewat telepon. Kegiatan saya yang berhubungan dengan kerja jurnalis ini menciptakan keletihan ekstra, apalagi saat harus mengikuti berbagai webinar untuk diliput yang menyebalkannya sering datang di waktu bersamaan. Bukan rahasia lagi kalau melihat layar lama-lama membuat mata cepat lelah, punggung dan pinggang pegal karena kebanyakan duduk, dan buat beberapa orang mungkin sampai bikin sakit kepala.
Lagi-lagi, sama seperti rumah, gawai dan perangkat teknologi pun bisa diasosiasikan dengan sesuatu yang tidak menyenangkan. Kita yang biasanya senang bermain media sosial atau nonton dan nge-game di laptop bisa mbleneg duluan. Saya malah sempat beberapa kali ngeblank sewaktu lihat layar laptop setelah seharian mengajar dan disambung dengan liputan.
Konon, kejenuhan parah bisa menyumbang creative block atau bahkan bikin blo’on seketika. Tidak pernah saya bayangkan sebelumnya kalau kondisi “new normal” bekerja di rumah ini bisa sejauh itu mempengaruhi proses berpikir saya. Selain itu, entah kenapa saya merasa kualitas tulisan atau proses mengajar online saya tidak sebernas hari-hari sebelum pandemi.
Kemudian, jika saya mengajar dan meliput, ada mahasiswa atau narasumber webinar yang kesulitan akses internet atau koneksinya tiba-tiba terputus. Meski masalahnya sepele, bisa reconnect atau pakai platform lain yang lebih ramah kuota, hal ini lumayan irritating bagi saya. Tentu saya tidak bisa menyalahkan mereka yang akses internetnya sedang buruk, tapi poinnya adalah, sering ada gangguan ketika kita memakai teknologi komunikasi selama bekerja sekarang ini. Ditambah lagi adanya noise yang datang kapan pun dan dari mana pun.
Teman saya sesama pengajar sempat mengeluhkan hal yang sama, mood-nya untuk kuliah terpengaruh oleh situasi pembatasan sosial. Biasanya, dia dapat chemistry ketika tatap muka mengajar mahasiswa, bisa interaksi langsung lihat muka masing-masing dari mereka, jalan mengitari kelas atau malah saling lempar tawa bersama mahasiswa sambil tos-tosan. Sekarang? Cuma bisa pasang mata dan kuping di depan layar saja.
Sementara mahasiswa saya, yang di umur mereka lagi getol nongkrong dan kelayapan, merasa stres juga karena mesti kehilangan momen semacam itu. Bisa, kata mereka, tetap menjalin interaksi lewat aplikasi meeting. Tapi, toh, rasanya seperti mengunyah Chiki minus MSG.
Di samping itu, mereka juga sering kehilangan mood belajar karena sering sekali muncul distraksi, entah dari ibu yang minta angkat jemuran, adik kecil yang berisik, godaan untuk buka tab YouTube, nge-game, dan sebagainya.
Berikutnya, tanpa disangka, kerja di rumah akibat pandemi membuat dompet saya lebih cepat melompong. Satu, karena di rumah dan minim kegiatan selain membuka laptop belaka, saya dan (terlebih) pasangan jadi lebih suka ngemil: jajan di sekitaran rumah atau pesan makanan via aplikasi.
Itu belum seberapa. Lantaran tidak bisa datang ke toko-toko atau mal sekarang ini, saya pun jadi lebih sering pesan barang-barang di online shop. Dari yang awalnya sedikit, lama-lama tagihan saya bisa sampai enam bahkan tujuh digit. Jeleknya saya, kalau bosan dan stres, pelampiasannya bisa berupa belanja barang-barang yang kurang penting atau yang sebenarnya bisa ditunda.
Buat saya, bekerja dari rumah itu bukan masalah karena saya pun sejak dulu sering melakukannya. Tapi, yang utama, adalah harus ada batasannya. Lebih dari dua hari di rumah full mulai mengganggu saya. Seminggu, dua minggu, dan stres pun malah bertunas. Ketika sudah menginjak dua bulan, rasanya saya mau dibekukan saja macam Captain America dan dibangunkan kalau corona sudah berhenti mewabah.
Saya pikir-pikir, dalam kondisi macam sekarang ini yang jadi penting adalah support system, entah itu keluarga, pacar, teman, atau kenalan. Menjaga kewarasan sendirian saja itu susahnya minta ampun, apalagi bagi orang-orang yang memang punya track record gangguan kecemasan, panik, depresi, dan kebutuhan bersosialisasi langsung yang menjulang.
Lalu, dalam kondisi yang lebih malang daripada saya seperti perempuan-perempuan yang masih mengadopsi pembagian peran gender tradisional, bebannya bisa membuat mereka meledak. Bayangkan, bekerja untuk kantor plus berbenah rumah lantaran pasangan bilang “itu pekerjaan perempuan.” Atau buat ibu rumah tangga, sumpeknya tak ketulungan kalau 24/7 ketemu pasangan dan anak (yang juga diliburkan sekolahnya) dan harus mengurus mereka sepanjang hari. Kapan me time-nya?
Dan pada akhirnya, bukannya membenarkan orang-orang untuk terus-terusan mengeluh. Tapi, mengeluarkan emosi dan unek-unek dalam bentuk apa pun pada satu waktu atau satu titik itu saya rasa perlu dan sehat. Sebaliknya, dicekoki serta bersedia untuk tetap berpikir positif no matter what atau ketika sebenarnya emosi kita sedang buruk itu malah bikin kesehatan mental kita jatuh lebih buruk lagi.
Tidak bisa dipungkiri kita sedang stres dan jenuh. Maka dari itu, kita harus cari outlet untuk hal tersebut dengan tetap menghindari pertemuan-pertemuan langsung. Opsi banyak, hal baru yang barangkali belum pernah kita dengar atau jajal melimpah, kelas online gratis di mana-mana dibuka. Mungkin salah satunya bisa meringankan beban kita selama jadi “burung dalam sangkar” seperti yang terjadi pada sekarang ini.