Issue #01 - May 2020
Khun Narin Mengajari Kita Bagaimana Cara Bersenang-senang
Faisal Irfani

Perkenalkan Khun Narin, orkes band jalanan dari Thailand yang patut kamu simak supaya harimu tetap waras dan bahagia di tengah masa pandemi.

Berada di rumah selama karantina di masa pandemi membuat kita bisa melakukan hal-hal yang biasanya cuma jadi wacana. Memasak beragam jenis makanan berbekal resep serta tutorial yang diperoleh dari YouTube atau memutuskan berkebun di halaman rumah yang luasnya tak seberapa adalah salah dua contohnya. Semua kamu kerjakan demi membunuh waktu luang yang teramat banyak, juga menjaga nalar agar senantiasa dipenuhi kewarasan.

Sementara bagi mereka yang suka musik, masa karantina adalah momen yang tepat untuk memperluas referensi supaya lagu-lagu yang didengar tak melulu dari playlist penjaga semangat yang dibikin layanan streaming era kini. Jika kamu bosan dengan musisi atau lagu yang itu-itu saja, maka segera buka gawaimu dan ketiklah: “Khun Narin Electric Phin Band.”

Nama Khun Narin saya dapatkan tidak lama ini, ketika pada suatu malam rasa kebosanan dan bingung-mau-ngapain-lagi mendadak menyerang pikiran. Tak ingin terjebak begitu lama, saya segera memutuskan membuka YouTube dan memutar lagu secara acak. Terima kasih yang besar pantas diucapkan kepada mesin algoritma YouTube yang telah menuntun saya pada perkenalan dengan Khun Narin lewat sebuah video berjudul “Chackim.”

Video ini berdurasi sekitar tiga menit, mengambil lokasi di suatu sawah yang enggak subur-subur amat, serta direkam dengan peralatan amatir. Di dalam video itu, terdapat tujuh lelaki yang sama-sama mengenakan pakaian khas Hawaii berwarna hijau. Mereka memegang alat musik, dari gitar, bass, sampai perkusi, dan mengitari sound system yang dipasang di atas gerobak.

Tak lama berselang, si pemukul perkusi memberi tanda kepada yang lainnya untuk memainkan komposisi yang sudah disepakati. Lagu pun mengalun dengan mantap dan tiba-tiba saya dibuat melongo setengah takjub, sebelum akhirnya tawa meledak di sela-sela kehingan.

Menyaksikan Khun Narin memainkan “Chackim” di video tersebut serupa plot twist di film-film Ari Aster. Kehadiran gerobak yang memanggul sound system, pemandangan sawah, serta gerombolan laki-laki dengan seragam yang eye-catching tak bisa dipungkiri menggiring opini saya ke satu hal: mereka membawakan musik dangdut koplo—atau sejenisnya—sebagaimana yang biasa dijumpai di Indonesia. Ternyata tidak: “Chackim” merupakan track psikedelik yang bakal membuatmu trippy setengah mati.

Selama tiga menit video itu berjalan, saya tidak bisa berhenti untuk tertawa, atau setidaknya tersenyum bungah. Rasa heran hampir mengisi penuh ruang di kepala saya, seraya terus bertanya bagaimana ceritanya orang-orang ini membawakan musik yang padat bergizi seperti menu sarapan yang dibikin ibumu di kampung halaman setiap pagi.

Bayangkan, tanpa peralatan yang memadai, mereka mampu membuat komposisi rock psikedelik seolah tengah kesurupan Grateful Dead, Jefferson Airplane, maupun band-band lain yang tumbuh di zaman keemasan Generasi Bunga.

Pukulan perkusinya, yang hanya berisikan tom-tom berukuran mini, meliar sepanjang lagu. Cabikan bass-nya juga tak berhenti menawarkan dentuman yang ritmis. Belum lagi permainan gitarnya yang mengeluarkan nada-nada melodius, ibarat kita sedang menyaksikan Santana atau Jerry Garcia. Impresi tersebut tak ayal membuat saya mengulik jauh tentang Khun Narin dan menemukan satu fakta yang tak kalah menghebohkan: mereka sudah jadi internet phenomenon sejak 2013.

Khun Narin merupakan kelompok musik asal tanah Thailand. Kisah Khun Narin dimulai dari unggahan video bertajuk “Mindblowing Psychedelia From Thailand” yang terpasang di blog hipster bernama Dangerous Mind. Video yang dipajang di laman tersebut memperlihatkan para personel Khun Narin sedang tampil di acara sejenis pesta perkawinan. Mengenakan rompi berwarna merah menyala, mereka bermain dengan khidmat. Bagian yang paling suka adalah ketika menyimak bagaimana sang gitaris begitu menjiwai perannya sebagai melody maker.

Unggahan itu lalu tersebar dan sampai juga di hadapan pemuda asal Los Angeles yang gandrung musik-musik aneh beridentitas Josh Marcy. Josh terkejut dan lantas bertekad untuk menemukan mereka, apa pun yang terjadi. “Pikiranku meledak,” demikian kenang Josh seperti dilaporkan Newsweek. Hal yang bikin ia terkesan dari Khun Narin ialah musiknya yang “sangat cepat, energik, dan perkusif.”

Josh segera bergerak. Ia menghubungi dua kawan lamanya, Jamie Strong dan Nate Nelson, yang menjalankan label independen, Innovative Leisure. Label ini dikenal dengan deretan band dan musisi cutting edge macam BADBADNOTGOOD, Tijuana Panthers, sampai Claude Fontaine. Tanpa pikir panjang, Jamie dan Nate setuju dengan proposal Josh.

Namun, semua tak lantas jadi baik-baik saja. Josh perlu melacak keberadaan Khun Narin, di tengah jejak digital mereka yang sulit ditemui, meski internet sudah mulai masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan orang banyak. Akhirnya, Josh menemukan nomor telepon Khun Narin dari Facebook. Ia lalu minta bantuan seorang pelayan di restauran Thailand langganannya untuk menjembatani komunikasi mereka. Dari obrolan yang terjadi, Khun, pemimpin orkes tersebut, membuka tangan atas rencana Josh.

Berangkatlah Josh ke Thailand. Sesampainya di sana, ia bertemu dengan Peter Doolan, warga Amerika yang lama menetap di Bangkok, yang juga punya blog khusus membahas musik-musik populer Thailand. Tujuan Josh mengajak Peter adalah menjadikannya sebagai penerjemah, agar dirinya tak kesusahan berkomunikasi dengan personel Khun Narin.

Keduanya lalu menuju desa terpencil di Provinsi Phetchabun, sebelah Thailand utara, atau sekitar empat sampai enam jam perjalanan dari Bangkok. Di situlah Khun Narin berada. Bermodalkan dua mikrofon, Macbook Pro, dan Apogee Duet, mereka mengadakan sesi rekaman di luar studio (field recording) di distrik Lom Sak, mengambil tempat di tanah lapang yang bersebelahan dengan sawah.

Proses rekaman itu berjalan lancar. Josh pulang ke Los Angeles membawa materi lagu sepanjang 40-an menit, yang nantinya disusun ke dalam album debut berjudul Khun Narin’s Electric Phin Band, dan dilepas ke publik pada 2014. Album tersebut lantas dirayakan banyak pihak. Media-media seperti Wired hingga Vogue turut memberitakan keberadaan Khun Narin sehingga menjadikan nama mereka melambung. Bahkan, kritikus musik veteran Robert Christgau tak ketinggalan menuliskan resensi di laman pribadinya, menyebut musik mereka tak ubahnya parade.

Tereksposnya Khun Narin ke berbagai negara, tentu saja, membuat kesempatan manggung mereka menjadi terbuka lebar. Dari yang semula hanya main di hajatan kawinan dan acara pesta, Khun Narin diundang tampil di berbagai festival seperti Rencontres Trans Musicales (Perancis) sampai Roskilde (Denmark).

Atensi besar yang ditujukan ke Khun Narin sebetulnya enggak mengagetkan. Mereka punya modal penting: komposisi musik yang menggoda iman. Khun Narin dengan begitu piawai mampu menggabungkan banyak elemen musik. Mereka meleburkan warna tradisi, yang berakar dari musik mor lam khas Thailand utara dengan permainan perkusi ala duriyangmarching band yang biasa dibawakan tentara. Wajah mor lam bisa dilihat manakala Khun Narin menggunakan phin, perkakas musik klasik seperti sitar dari daerah Isaan yang ditemukan akhir abad-19. Kedua elemen itu, ditambah dengan raungan distorsi dari gitar elektrik, lantas menghasilkan senyawa baru dalam wujud rock psikedelik.

Kamu bisa mendengarnya lewat, ambil contoh, nomor “Lai Sang” yang nuansanya mengingatkan pada Their Satanic Majesties-nya The Brian Jonestown Massacre. Atau ada juga “Thai Jai Thang Jao”—terdapat di album kedua mereka, II (2016)—yang sepintas mengajak kita kembali ke masa ketika Phish melepas Colorado ’88. Tapi, bagi saya, track favorit tetaplah “Show Wong Khun Narin”: komposisi sepanjang 19 menit yang bakal membuat Kevin Parker segera bertobat dan kembali ke jalan lurus.

Keberadaan Khun Narin semakin mempertebal kondisi betapa beragamnya scene musik hipster di Thailand. Hampir bertepatan dengan mekarnya nama Khun Narin, misalnya, dunia lebih dulu mengenal Dao Bandon, penyanyi lawas yang lagunya muncul sebagai salah satu soundtrack di The Hangover Part II (2011).

Selain itu, ada pula Bangkok Molam International Band yang sempat tampil bersama Damon Albarn, pentolan Blur, di Berlin pada 2014. Setahun sebelumnya, di Polandia, mereka bahkan berbagi stage dengan Smasing Pumpkins dan Godspeed You! Black Emperor. Sama halnya Khun Narin, Bangkok Molam International Band juga menawarkan sajian musik yang trippy serta mengambil inspirasi dari eksistensi mor lam.

Oleh Khun Narin maupun Bangkok Molam, sajian musik mor lam mendapati bentuknya dalam wajah yang lebih modern sekaligus momentum untuk unjuk gigi kembali. Di kota-kota besar, di luar kawasan rural Thailand utara, musik mor lam versi modern menyelip di ruang-ruang pesta dengan aransemen bertempo cepat; mengajak para penonton bergoyang dan melupakan sejenak bahwa hidup terkadang brengsek.

Tak sebatas itu saja, pengaruh mor lam juga bisa dilihat melalui kehadiran band-band kiwari seperti Khruangbin, trio dari Texas yang moncer berkat album Con Todo El Mundo, serta The Whitest Crow, band kebanggaan lokal yang memperoleh puja-puji selepas merilis Siam Psyche.

Khun, dalam wawancaranya bersama Edouard Delpeuch, peneliti dari antropologi musik dari École des Hautes Etudes en Sciences Sociale, Paris, pernah mengatakan bahwa ketenaran bukanlah tujuan utamanya dalam bermusik. “Aku membikin band karena emang aku menyukai [musik],” kata laki-laki yang sehari-hari bekerja sebagai petani dan pedagang ini. “Aku melakukannya sepenuh hati, bukan karena uang.”

Tanpa perlu Khun bilang, kita semua dapat melihat itu, lewat berbagai video yang terpasang di YouTube. Khun Narin membuktikan bahwa musik, sekali lagi, dan saya tidak pernah bosan mengucapkannya, adalah salah satu cara senang-senang yang paripurna. Khun Narin memperlihatkan enggak peduli show-mu ditonton satu atau banyak orang, nikmatilah apa yang ada di depanmu. Buang pikiran yang tak perlu dan sambut kebahagiaan bersama orang-orang sekitar.

Dalam konteks pandemi sekarang ini, saya pikir kita bisa meniru apa yang dilakukan Khun Narin. Kita semua mungkin sudah jengah kehadiran wabah yang tak kunjung kelar, korban yang terus berjatuhan, juga betapa payahnya pemerintah mengambil kebijakan. Kendati begitu, enggak ada salahnya bila kita menutup sementara kesedihan-kesedihan itu dan menggantinya dengan rupa keriaan lainnya. Kamu bisa menekuni hobi lama yang sempat terkubur, berjejaring dengan orang-orang terkasih via daring, atau memutar lagu-lagu Khun Narin dengan volume yang keras dan biarkan kamu berjoget sepuasnya.

Lepaskan, karena bagaimanapun, hidup harus dirayakan.

Faisal Irfani menghabiskan waktunya untuk menulis dan mendengar musik.
⟵ Kembali