Entah kebetulan atau dia memang cenayang, dalam lirik lagu “She Looks Like Fun,” Alex Turner bernyanyi, “No one’s on the street, we moved it all online as of March.”
Sudah lebih dari tiga bulan tata kehidupan hampir seluruh umat manusia di dunia berubah, semenjak virus bernama corona merebak dan ditetapkan otoritas kesehatan terkait sebagai pandemi. Semua pilar penyangga, baik itu ekonomi, sosial, sampai politik dibuat kalang kabut sekaligus dituntut beradaptasi dengan kenormalan baru, yang kita tak pernah tahu kapan berakhirnya. Masyarakat terpaksa bekerja dari rumah, kota mendadak sepi, dan masa depan semakin diselimuti ketidakpastian.
Hal ini berlaku pula untuk dunia musik. Awal tahun ini semestinya akan ada banyak konser berskala besar di kawasan Asia. Mulai dari Head in the Clouds, Hella Mega Tour (yang menampilkan Green Day, Weezer, serta Fall Out Boy), sampai festival musik cadas Hammersonic. Namun, berkat pandemi, semuanya batal.
Gambaran serupa, nyatanya, juga muncul di Indonesia. Para musisi lokal beramai-ramai menumpahkan kekecewaannya di media sosial karena batalnya jadwal manggung mereka. Iga Massardi, pentolan Barasuara, bahkan berkelakar: “Mensana In Coporesano, Corona Asu Job Ora Ono.”
Wabah, pada akhirnya, mengubah cara kita menikmati atau memainkan musik. Tak ada lagi konser padat penonton. Yang ada hanyalah konser di balik layar monitor.
Musisi kiwari lebih aktif lagi dalam menjelajah ruang media sosial. Konser-konser daring, tak lupa menyertakan seruan untuk tetap di rumah saja, datang silih berganti. Kunto Aji, Pamungkas, sampai Stars and Rabbit adalah beberapa contoh kecil di antaranya.
Selain untuk bersenang-senang, tak jarang, konser daring dilakukan guna menggalang dana. Mereka merapatkan barisan dan solidaritas kepada para pekerja kesehatan yang berdiri di garda depan penanggulangan wabah.
Tapi, yang perlu dicatat, tak semua acara daring dikemas dalam format pementasan. Ada pula yang sekadar tukar gagasan. Ini dilakukan oleh Sounds From The Corner dan Agordiclub yang beberapa waktu lalu mengundang Danilla, Hindia, serta Lafa Pratomo untuk sharing seputar proses cipta karya mereka. Hindia mengulas lagu “Evaluasi,” sementara Danilla bercerita tentang album pendeknya, Fingers.
Aktivitas menarik lainnya dilakukan oleh Farid Stevy, vokalis grup alternatif rock asal Jogja, FSTVLST. Farid mengadakan program kelas online bertajuk “Distancing Festival.” Fokus programnya ialah branding—personal branding, brand branding, sampai merchandising.
Perubahan pola aktivitas yang serba online ini mendorong orang-orang di dalam dunia musik mengeksplorasi banyak hal. Terlebih, penggunaan internet di masa sekarang terbilang sangat masif dan tinggi.
Data dari Nielsen, perusahaan riset pasar, misalnya, menyebut bahwa penetrasi internet di Indonesia begitu besar. Riset Nielsen dilakukan pada 2017 dan menyasar 11 kota di Indonesia. Hasilnya adalah porsi internet di kalangan masyarakat mencapai 44 persen.
Angka di atas, tidak bisa ditepikan, menandakan internet—dan produk turunannya seperti konten media digital—kian digemari. Makin beragamnya konten digital saat pandemi ini membuka gerbang eksplorasi baru bagi musisi. Kita bisa saja berharap ada sebuah konten baru yang sebelumnya jarang dilakukan musisi.
Perubahan pola seperti ini pernah kita alami ketika streaming musik marak. Musisi mulai jarang membuat album dan cenderung membuat single. Mengapa demikian? Pertama, effort membuat album begitu besar ketimbang single. Kedua, feedback yang diperoleh dari sebuah single punya potensi begitu besar. Walhasil, dari sini, mulai banyak musisi yang memilih memakai single ramah telinga sebagai produk utama mereka.
Sekarang, pertanyaannya, bagaimana dengan situasi pandemi seperti saat ini? Jawabannya tak jauh dari penjelasan saya soal imbas streaming: wajah industri musik akan sedikit-banyak berubah. Sangat mungkin ada konten bedah karya, jauh lebih banyak daripada waktu-waktu sebelumnya. Begitu pula dengan sisi pementasan. Konser virtual diprediksi bakal sering bermunculan.
Yang patut disikapi lebih lanjut adalah bagaimana peluang konser-konser daring semacam itu di masa mendatang?
Saya pikir, sejauh ini, konser dengan ribuan penonton maupun gig kecil yang sesak rasanya tidak akan semudah itu digantikan oleh konser dengan format online. Banyak sekali faktor yang membuat situasi dalam sebuah konser menjadi spesial. Pengalaman yang didapat seseorang ketika menonton konser bisa sangat berbeda tergantung situasi saat itu. Interaksi antara penampil dengan penonton maupun sesama penonton lainnya adalah harga yang tidak bisa dibeli dengan teknologi.
Ini setali tiga uang dengan para musisi. Bagi mereka, energi yang didapat ketika tampil di depan penonton akan jauh berbeda ketika dilakukan tanpa penonton. Coba tanyakan pada Jim Morisson atau Axl Rose. Apakah mereka akan juga begitu ekspresif andaikata tampil lewat format streaming?
Rasanya sulit sekali menggantikan sebuah konser secara live. Tetapi, yang harus ditekankan, format online ini bisa menjadi alternatif sekaligus pelengkap di masa mendatang, terlebih teknologi memudahkan semuanya.