Sebagai seorang perempuan, aku merasa harus bekerja keras berkali-kali lipat untuk “diakui” sebagai seorang “scholar,” “researcher,” atau “akademisi.” Di dunia akademik yang masih male-dominated ini, kesempatan untuk melakukan penelitian, menulis di berbagai platform media, bicara di berbagai panel diskusi atau seminar itu tidak pernah datang dari langit. Aku harus menggapai, datang, menjemput, dan—kalau perlu—merebut kesempatan-kesempatan itu.
Padahal, aku selalu serius memikirkan segala hal yang berhubungan dengan dunia akademik dan riset. Seperti bisakah kita menjadi seorang peneliti dengan satu penelitian saja seumur hidup kita? Maksudnya, kesimpulan dari penelitian hanya dapat ditulis setelah kita mencapai beberapa transformasi yang emansipatoris dalam masyarakat. Contohnya, sebagai seorang peneliti feminis, aku hanya dapat menuliskan kesimpulan setelah aku menyaksikan keruntuhan patriarki.
Atau, misalnya, kenapa researcher itu jadi sebuah profesi? Aku pikir, semua orang bisa jadi researcher. Kuncinya tinggal seberapa besar kemauan untuk belajar, menggali lebih dalam tentang hal-hal di sekitar kita. Aku sering berpikir kalau researcher itu, to some extent, is a bullshit job. Kecuali kalau posisi “the researcher” adalah work hand-in hand with people to change some shitty conditions in the society.
Penting, rasanya, bagiku untuk bikin riset soal mengapa masih banyak researcher yang bahkan tidak memiliki deep thought dan feeling tentang sesuatu di sekelilingnya, tapi tetap saja—percaya diri atau mungkin memaksakan diri—shamelessly conduct a research.
Aku paham betul bahwa apa yang aku ungkapkan di atas adalah masalah eksistensial. Tapi, selama masalah itu masih ada, maka selama itu juga semuanya penting untuk disampaikan, terlebih hal-hal seperti ini banyak menimpa women scholars.
Menjadi peneliti, tak jarang, membuat aku kelelahan. Namun, aku selalu punya cara dan ruang untuk menghapus rasa lelah itu. Aku sering mengunggah berbagai kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti publikasi tulisan atau poster panel diskusi, di media sosial. Bagiku, cara-cara semacam itu adalah eskapisme. Aku makin bersemangat ketika unggahanku diapresiasi oleh orang-orang.
Perasaan lelah dan letih sudah pasti datang. Tapi, aku selalu berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa di luar sana ada banyak orang yang punya nasib kurang beruntung. Penjaga toilet gedung dan mall, misalnya. Usia mereka sepertinya banyak yang jauh di bawahku. Masih sangat muda. Aku tak bisa membayangkan jika aku harus bekerja sepanjang hari di toilet umum seperti mereka. Selain itu, ada juga pekerja di SPBU. Setiap hari mereka disesaki bau bensin yang cukup menyengat. Mereka berdiri berjam-jam untuk melayani para pelanggan.
Kemudian, tak ketinggalan, pekerja penjaga lift di mall. Sering aku melihat mereka kelelahan. Namun, mereka harus tetap bekerja: mengeluarkan senyum seramah mungkin di hadapan pengunjung. Melihat mereka, aku seketika teringat tulisan Graber: pekerjaan semacam itu adalah gabungan antara bullshit dan shit jobs sekaligus.
Orang-orang seperti mereka ini yang membuatku terus yakin, menginjak pedal sekeras mungkin, demi terciptanya perubahan nasib yang lebih baik. Aku ingin membuat mereka terbebas dari pekerjaan yang menyebalkan. Aku ingin berkontribusi dalam terbentuknya tatanan masyarakat yang bebas.
Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa aku memutuskan bekerja sebagai peneliti. Bukan karena aku ingin terlihat bonafide dan semacamnya, melainkan aku ingin memberi sumbangsih kepada masyarakat, kepada kehidupan sosial, kepada lingkunganku. Aku ingin melawan penindasan, ketidakadilan yang kerap diterima para pekerja atau orang-orang pada umumnya, perampasan otonomi atas tubuh perempuan, sampai penghisapan dan eksploitasi.
Melihat dan mendengar hal-hal semacam itu membuatku marah. Dan dengan menjadi peneliti adalah bagian dari tekad politik emansipatoris untuk menghapus segala masalah-masalah itu.
I want that kind of life,
No more pain and sadness,
and
I want to dedicate my life for this dream.