Issue #01 - May 2020
Patroli Polisi di Masa Pandemi: Unjuk Kekuasaan Negara?
Faisal Irfani

Rombongan patroli polisi tak ubahnya parade kekuasaan negara yang ingin menegaskan bahwa kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ditaati oleh masyarakat. Tapi, pertanyaannya, apakah kerja-kerja rombongan itu efektif dalam memastikan masyarakat tetap di rumah selama masa pandemi?

“Pokoknya kita harus ingat satu hal: kedepankan pendekatan yang humanis.”

Kalimat di atas meluncur dari mulut inspektur apel patroli dalam rangka PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Suaranya keluar cukup nyaring dari mesin pengeras, membelah barisan personel yang jumlahnya mencapai puluhan di halaman Polda Metro Jaya, Jakarta Pusat.

“Kita pentingkan edukasi, seperti yang diamanatkan Bapak Presiden dan Kapolri,” imbuhnya mencoba meyakinkan.

Kamis malam itu (16/4), saya berkesempatan mengikuti agenda patroli yang dilakukan kepolisian. Jam memperlihatkan pukul delapan malam, ketika inspektur apel menyudahi pembekalan dan mempersilakan personel lapangan untuk mempersiapkan diri.

Keberadaan wabah COVID-19 yang menghantam dunia dalam dua bulan terakhir telah membikin patroli keamanan kali ini berbeda dari biasanya. Personel yang turun tak sekadar polisi biasa; ada anggota tentara hingga satuan Brigade Mobil (Brimob) lengkap dengan persenjataannya.

Dari sini, acara patroli pun tak ubahnya seperti persiapan menuju medan perang.

***

Rombongan patroli yang saya ikuti dibagi dalam dua bagian. Satu menuju kawasan Jakarta Timur dan sisanya diarahkan ke Jakarta Utara. Saya sengaja memilih opsi terakhir karena ingin melihat bagaimana jajaran personel keamanan bakal berjibaku dengan medan Jakarta Utara yang dikenal keras, terlebih saat malam tiba.

Perjalanan dimulai dari Gatot Subroto. Saya membawa kendaraan di tengah pasukan Brimob, yang menunggangi sepeda motor jenis trail berwarna hitam. Jujur saja, berkendara dengan kondisi seperti ini membuat saya seperti tamu negara yang wajib memperoleh pengamanan tingkat pertama. Sebagai warga sipil, saya cukup bangga mendapatkan kesempatan yang mungkin datangnya sekali dalam seumur hidup.

Terlebih, dan ini yang menarik, saya akhirnya dapat melintasi Lingkar Semanggi, yang sehari-hari diperuntukkan untuk pengendara mobil—dan hanya pada waktu-waktu tertentu saja motor dipersilakan lewat.

Dari Gatot Subroto, rombongan membelah jalanan di kawasan Pancoran, Cawang, sampai Rawamangun tanpa dihadang kemacetan yang berarti. Rombongan patroli ini cukup panjang. Setidaknya ada lebih dari lima mobil, enam motor, dan bahkan truk berukuran jumbo untuk para anggota TNI yang diturunkan demi keberlangsungan patroli.

Aksi yang ditunggu pun tiba. Target pertama patroli itu adalah penjaja kopi keliling yang tengah melayani sepasang pembeli. “Ayo, pak, diberesin dulu dagangannya,” minta seorang pejabat kepolisian yang memimpin jalannya patroli. “Tidak boleh jualan dan menciptakan kerumunan, ya.”

Wajah pedagang tersebut seketika diselimuti kepanikan. Puluhan aparat yang berdiri membuat dirinya buru-buru merapikan barang dagangannya, sebelum pergi dari lokasi tanpa perlawanan.

Sepak terjang personel patroli lantas berlanjut di titik pemberhentian selanjutnya. Kali ini, yang dihadapi beberapa orang yang nongkrong di pinggir jalan. Lagi-lagi, ceramah tentang pentingnya menghindari kerumunan dilontarkan kepada warga sekitar lokasi.

“Patrolinya kayak gini, mas,” terang personel Brimob bernama Budi yang berdiri di samping saya. Ia menambahkan bahwa situasi patroli, sejauh ini, “aman dan terkendali.” “Enggak ada yang sampai tawur atau warga yang melawan. Semua kooperatif,” tegasnya.

Setelah sempat berhenti di dua titik, tibalah patroli di daerah Jakarta Utara, tepatnya di sekitar Stasiun Priok. Rombongan menyisir jalan, mengamati apakah ada kerumunan yang patut ditegur secara halus atau tidak.

Pengamatan saya memperlihatkan bahwa terdapat lebih dari tiga gerombolan masyarakat yang sebetulnya masuk kategori patut dibubarkan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: patroli seolah diam saja dan tak menangkap kondisi tersebut.

Rombongan pun berlalu. Mereka hanya berjalan memutar di kawasan itu dan sama sekali tidak melakukan aksi apa-apa. Saya mengikuti mereka dari belakang. Sesampainya di persimpangan jalan, saya menyaksikan mobil yang ditumpangi pemimpin patroli masuk ke arah jalan tol. Disusul kemudian mobil divisi lainnya.

Saya bingung dan memutuskan untuk menepi. Para personel Brimob, yang semuanya menaiki motor, juga melakukan hal yang sama. Motor dimatikan. Budi, dan seorang kawannya, datang menghampiri saya seraya bertanya:

“Lho, ini sudah selesai?”

***

Sejak kebijakan PSBB, yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020, diketok Anies Baswedan, pada 10 April silam, kota ini terasa seperti kota mati dalam setiap film zombie. Aktivitas mendadak senyap dan jalanan yang biasanya dipenuhi kemacetan motor maupun mobil menjadi sepi bukan kepalang.

Mencegah kerumunan, agar mata rantai virus dapat terputus, merupakan tujuan besar dari penerapan PSBB. Demi merealisasikan hal tersebut, Anies menegaskan bakal berkoordinasi dengan jajaran kepolisian untuk melangsungkan patroli.

“Nanti akan banyak patroli karena kita harus memastikan bahwa tidak ada kerumunan,” terangnya. “Jadi bukan berbentuk checkpoint, tapi akan patroli seluruh jajaran bersama polisi dan TNI untuk memastikan bahwa seluruh masyarakat menaati.”

Kasat Patwal Ditlantas Polda Metro Jaya, Kompol Argo Wiyono, mengungkapkan bahwa patroli akan dilakukan sebanyak tiga kali dalam sehari: pagi, siang, dan malam. Polisi turut melibatkan personel lintas instansi seperti Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Perhubungan (Dishub), hingga TNI. Tak ketinggalan, polisi juga menyiapkan 157 titik pemeriksaan yang tersebar di seluruh Jakarta dan sekitarnya. “Ini demi memastikan agar masyarakat menerapkan physical distancing dengan benar,” terangnya.

Supaya PSBB berjalan sebagaimana yang diharapkan, pemerintah menyertakan ketentuan hukum bagi mereka yang dinilai melanggar. Hukumannya, jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, adalah denda paling banyak Rp100 juta dan penjara maksimal satu tahun.

Mengerahkan aparat keamanan untuk memastikan pemberlakukan PSBB berjalan dengan baik merupakan tindakan yang tidak salah-salah amat. Akan tetapi, yang harus diperhatikan, partisipasi dari personel keamanan bisa jadi membuka ruang represi terhadap masyarakat dengan tameng pencegahan wabah.

Ini serius. Di India, misalnya, aparat keamanan tertangkap basah memukuli orang-orang yang masih keluyuran di jalanan. Kelakuan polisi itu terekam oleh kamera dan tersebar luas di jagat maya, memancing protes dan tekanan kepada penegak hukum. Pemerintah India di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Modi telah menerapkan aturan lockdown selama tiga minggu yang dimulai pada akhir Maret kemarin.

“Saya tidak ragu bahwa sebagian personel [dari] kepolisian melakukan tindakan terpuji di masa-masa sulit ini. Namun, mereka yang melakukan aksi brutal kepada warga membuat reputasi pihak lainnya menjadi [ikut] buruk,” kata Shashi Tharoor, anggota parlemen dari partai oposisi, Kongres Nasional India.

Sedangkan yang terjadi di Kenya juga tak kalah miris. Demi menegakkan aturan pembatasan sosial, polisi menembakkan gas air mata serta menghajar orang-orang—yang sebagian besar adalah pekerja informal—di lokasi pusat keramaian. Kebrutalan polisi, ironisnya, sampai memakan korban meninggal, seperti yang muncul di Mombasa, kota pesisir di Kenya.

“Tidak ada peringatan dan mereka tetap saja memukuli orang-orang,” cerita Nyambura, seorang saksi mata. “Semua orang di jalan—tidak peduli berapa umurmu—dipukuli.” Menurut Nyambura, alasan mengapa banyak orang Kenya masih berada di jalanan adalah bahwa mereka tidak memperoleh informasi yang utuh sebab tidak semua punya televisi.

Juru bicara kepolisian Kenya, Charles Owino, menyesalkan insiden kekerasan yang ada. Namun, ia tak menyalahkan aksi bawahannya. “Ini adalah perang serius melawan penyakit yang serius … Ketika instruksi jam malam sudah diberikan, masyarakat harus mengikutinya. Saya harus menyalahkan anggota masyarakat karena ini soal hidup banyak orang.”

Di Indonesia sendiri kesewenangan aparat juga muncul bahkan sebelum kebijakan PSBB diterapkan. Awal April lalu, polisi menangkap belasan orang di kawasan Bendungan Hilir dan Sabang, Jakarta Pusat, sebab dinilai tidak mematuhi seruan social distancing. Mereka dijerat Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Pasal 218 KUHP. Oleh kalangan aktivis, keputusan polisi dianggap berlebihan.

Kondisi diprediksi bertambah runyam manakala Kapolri Idham Azis menerbitkan Surat Telegram bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 tertanggal 4 April 2020. Surat Telegram ini secara garis besar mengatur penanganan perkara dan pedoman pelaksanaan tugas selama masa pencegahan penyebaran COVID-19 di ruang siber. Ada lima pelanggaran yang disebut: dari hoaks terkait corona dan kebijakan pemerintah hingga penghinaan terhadap presiden dan pejabat lainnya.

Surat Telegram tersebut dipandang sebagai bentuk abuse of power, karena rentan disalahgunakan untuk membungkam siapa saja yang mengkritik pemerintah. Benar saja. Pada 22 April 2020, polisi menangkap peneliti kebijakan publik Ravio Patra karena dinilai menghasut orang untuk berbuat kekerasan dan menyebar ujaran kebencian.

Padahal, WhatsApp milik Ravio diretas oleh pihak yang belum diketahui. Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus (Katrok) menganggap penangkapan Ravio didasari oleh sikap kritisnya terhadap pemerintah. Salah satu yang dikritik Ravio yakni penanganan COVID-19.

Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), mengungkapkan bahwa keberadaan wabah COVID-19 bisa jadi dalih bagi pemerintah beserta aparat kepolisian untuk berlaku semena-mena. Bentuknya, Asfinawati bilang, bermacam-macam.

“Mulai dari intimidasi, hukuman fisik seperti disuruh push up, sampai penerbitan Surat Telegram Kapolri,” ungkapnya. “Pemerintah bakal berlindung di balik kedok wabah.”

Menurut Asfinawati, tindak represi dari aparat kepolisian lahir sebab tidak adanya mekanisme yang jelas dari instansi terkait. Atau, tambahnya, memang sudah ada mekanisme tertentu tapi implementasinya “meleset di lapangan.”

Kita wajib menaruh skeptis terhadap keterlibatan aparat dalam upaya pencegahan masalah yang sifatnya besar seperti halnya pandemi ini. Pasalnya, patroli polisi punya rekam jejak yang buruk. Pada 2018, dalam rangka mengamankan penyelenggaraan Asian Games, polisi melakukan Operasi Cipta Kondisi yang menarget para berandalan yang gemar bikin onar. Ribuan personel dikerahkan guna memberangus aksi kriminal tingkat rendah.

Kapolri waktu itu, yang sekarang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, tanpa ragu memerintahkan jajaran di bawahnya untuk bertindak dengan pedal gas penuh. Bahkan, ia berani menyuruh aparat “menghabisi” para bandit kelas teri. Operasi ini kemudian menghasilkan penangkapan terhadap ribuan orang. Ada yang ditahan, dibina, dan ada juga yang berakhir tragis dengan luka tembak maupun meregang nyawa.

“Hukum itu alat atau instrumen. Ketika ia dipakai oleh orang-orang yang tujuannya adalah menolong, maka akan jadi alat bantu di tengah masyarakat,” papar Asfinawati. “Sebaliknya, ketika ia dipegang oleh orang-orang yang represif, maka hukum akan berubah jadi alat pukul.”

***

Pertanyaan lain yang penting diajukan sehubungan dengan patroli polisi, di luar wajah bopeng berwujud aksi represif, adalah: efektifkah dalam mencegah kerumunan massa di masa pandemi?

Jika merujuk pada data yang dihimpun Polda Metro Jaya, jawabannya bisa jadi tidak. Orang-orang masih melanggar ketentuan PSBB, dari berkendara dengan melebihi kapasitas sampai berkerumun di tempat-tempat tertentu.

Patroli yang saya ikuti beberapa waktu silam pun juga memperlihatkan hasil serupa. Alih-alih mampu “mendisiplinkan” masyarakat agar tetap stay at home, rombongan aparat ini malah menciptakan kerumunan massa tersendiri. Di Jakarta Utara, orang-orang bergerombolan di luar dan menyaksikan rombongan patroli dengan seksama seolah-olah yang mereka lihat adalah parade kebudayaan.

Teguh Kurniawan, ahli kebijakan publik dari Universitas Indonesia, menerangkan ada setidaknya dua faktor yang menyebabkan mengapa kebijakan pemerintah tidak berjalan efektif. Pertama, kurangnya sosialisasi sekaligus pemahaman terhadap aturan main PSBB.

“Dan yang kedua, dari segi pelaku kebijakannya sendiri yang sebetulnya sudah siap atau belum dalam memastikan kebijakan yang diambil itu dapat berlaku dengan maksimal,” ucapnya.

Sementara Pandu Riono, pakar epidemiologi lulusan University of Pittsburg, mengatakan bahwa salah satu pangkal persoalannya terletak pada cara pemerintah menyampaikan kebijakan bersangkutan. Semakin rumit bahasa yang diambil, maka masyarakat akan kian susah memahami—apalagi menerapkan.

“Kalau mau sukses, pemerintah harus berikan informasi sejelas mungkin. Anggap aja kayak orang jualan. Orang jualan itu, kan, bahasanya clear, mudah dipahami, dan menarik,” jelasnya. “PSBB itu seperti jualan ide. Maka, yang dipakai adalah pendekatan social marketing. Karena orang-orang itu banyak yang enggak tau apa PSBB, social distancing, maupun physical distancing.”

Pandu juga menambahkan sudah saatnya pemerintah menerapkan kebijakan berbasis komunitas. Artinya, tak sekadar mengandalkan aparat, pemerintah juga mesti melirik peran pemuka agama atau tokoh masyarakat untuk menyebarkan pesan-pesan yang berhubungan dengan wabah serta pemberlakuan PSBB.

“Mumpung ini memasuki bulan puasa, peran pemuka agama bisa saja dimaksimalkan. Mereka diminta berkhotbah atau nyampein pesan soal betapa pentingnya PSBB,” imbuhnya. “Saya yakin bila momen [bulan puasa] ini bisa dimaksimalkan dengan baik, hasilnya akan jauh efektif untuk mengerem laju virus.”

Mungkin ke depan patroli PSBB bisa diselingi dengan kultum.

Faisal Irfani menghabiskan waktunya untuk menulis dan mendengar musik.
⟵ Kembali